Rabu, 09 November 2016

Mempetahankan Kedaulatan Bangsa

Mempertahankan Kedaulatan Bangsa

(Sebuah Catatan Bersama)

 Hasil gambar untuk gambar hari pahlawan
     Mengenang 10 November yang sering disebut dengan "Hari Pahlawan" tidak hanya memberikan ucapan dan do'a saja, melanikan harus ada tindakan nyata sebagai kontribusi kita untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan. Setidaknya kita harus bisa menjaga keutuhan NKRI yang telah diperjuangkan kemerdekannya oleh para pahlawan dari para penjajah. Menjaga keutuhan NKRI dengan menjadi warga yang baik dan menjaga kedaulatanya agar tetap menjadi negara yang aman dan damai untuk tempat tinggal keturunan kita kelak.

     Berbicara tentang 10 November dan "Hari Pahlawan" tidak terlepas dari fakta resolusi jihad yang difatwakan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari yang menjadikan perjuangan melawan penjajah itu hukumnya fardlu 'ain dan yang gugur di medan perang itu merupakan syahid. Dari fatwa inilah memicu warga negara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

     Oleh karena ini, pada 5 November kemarin di Pesantren Tebuireng mengadakan rapat akbar mengenai aktualisasi resolusi jihad yang menghasilkan piagam Tebuireng. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian kiai, ulama, para cendikia, dan pihak-pihak lainnya untuk kedaulatan Indonesia.

     Menjadi Indonesia yang berdaulat memang tidak cukup hanya dilakukan di satu sisi saja, melainkan harus dilakukan dari berbagai sisi diantaranya adalah pertahanan bangsa, bidang pendidikan, ekonomi, digital, dll. Sisi- sisi inilah yang memang harus dikaji satu persatu untuk kedaulatan negeri yang utuh.

     Berdaulat dengan Pendidikan bermakna bahwa Indonesia harus mampu membangun pendidikan yang mempunyai konsep yang cocok untuk warga negaranya, bukan hanya mengambil dan mencomot metode yang diterapkan di negara lain. Menurut Prof Imam Suprayogo yang menjadi pembicara kala itu mengatakan bahwa negara Indonesia mempunyai konsep sendiri. Salah satu konsep sempurna pendidikan di Indonesia adalah pendidikan di pesantren.

     Pendidikan karakter yang diangan-angan oleh pemerintah seharusnya harus mengaca pada pola pendidikan yang ada di pesantren, dimana bukan hanya akal yang diberi nutrisi lebih dari itu adalah pendidikan hati (akhlak) yang menjadi pusat kekuatan manusia. Di dalam pesantren ada konsep tawadhu, barokah, ridho, dan hormat. Konsep-konsep inilah yang menjadikan para santri bukan hanya mampu mengolah kecerdasan intelektualnya saja, melainkan seimbang dengan kecerdasan emosional dan spiritualnya.

     Selain berdaulat dengan pendidikan, berdaulat dengan ekonomi juga perlu diperhatikan. Seperti yang kita negara Indonesia ini memiliki wilayah yang luas dan berpotensi besar untuk berdaulat dalam bidang ekonomi, namun tantangan terbesarnya adalah bagaimana bisa membangun perekonomian yang merata untuk semua lapisan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata ini menjadi PR besar untuk bangsa Indonesia.

     Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan agar Indonesi berdaulat dalam bidang ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh bapak Edy Setiadi yakni dengan pendekatan individu dan pendekatan kemandirian ekonomi bangsa. pendekatan kedaulatan ekonomi secara individu yakni dengan memberi jaminan kepada mayarakat Indonesia untuk hidup layak dan mendapatkan kesempatan untuk membuka usaha.

     Oleh karena itu kontribusi kita untuk berdaulat dalam ekonomi adalah dengan menjadi seorang enterpreneur (wirausaha mandiri) agar bisa membuka peluang usaha untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Namun menjadi enterpreneur juga tak mudah yang dibayangkan, hambatan yang paling umum adalah masalah modal dalam usaha. Namun pemerintah sudah menyiapkan solusi diantaranya adalah dengan membuat gerakan "ayo menabung". Dengan begitu, dengan kontribusi kita membantu program-program pemerintah semoga Indonesia semakin lebih baik.

     Adapun dalam permasalah digital, tanpa disadari bangsa kita ini dijajah oleh digital yang dilakukan oleh orang asing. diantaranya melalu Televisi, Smart Phone, dsb. Dari alat-alat digital inilah kita dijajah secara ekonomi, karena setiap data kita yang dikirimkan ke akun media sosial akan dijadikan bahan untuk mengetahui kesukaan kita dan pada akhirnya negara asing akan memproduksinya. Inilah yang para kapitalis lakukan untuk mendapatkan keuntungan melalui media digital. Pejajahan seperti inilah yang tidak terlihat, namun paling bahaya dibandingkan penjajah yang terlihat.

     Dalam bidang pertahanan negara, bukan hanya peran para tentara saja melainkan kita juga bisa berkontribusi dalam menjaga kedaulatan NKRI, yakni dengan tidak memecah belah bangsa yang pada akhirnya akan menimbulkan kegoncangan dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Para Ulama dan pemerinth harus tetap bersatu untuk menjaga keutuhan negara Indonesia, agar sesuai dengan cita-cita para founding father kita.

Semoga Jaya Indonesiaku, SELAMAT HARI PAHLAWAN

Senin, 07 November 2016

KEPEMIMPINAN DALAM AN-NISA : 34



KEPEMIMPINAN DALAM AN-NISA : 34
(kajian tafsir dalam Metodologi Fiqih Islam  Kontemporer 
karya DR. Ir. Muhammad Shahrur)

Hasil gambar untuk gambar pemimpin
Definisi al-qiwamah dalam pengertian yang umum terdapat dalam at-Tanzil al-Hakim pada surat An-Nisa’. Di dalamnya juga terdapat qiwamah bagi laki-laki dan perempuan, yaitu firman Allah : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki dan perempuan) atas sebagian (laki-laki dan perempuan) yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka wanita saleh, ialah yang taat dan memelihara hal-hal yang telah dipelihara oleh Allah ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahilah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. An-Nisa’ : 34) 

Dalam ayat ini yang tertulis adalah kalimat ar-rijal dan an-nisa yang merupakan bentuk jamak dari kata ar-rajul, sementara kata an-nisa adalah bentuk jamak dari kata imra’ah. Seperti yang diketahui bahwa seluruh rajul adalah jenis laki-laki (dhakar) dan seluruh imra’ah adalah jenis perempuan (untha). Jika dilihat dari penggunaan bahasa ini maka Al-Qiwamah dikaitkan dengan kualitas-kualitas yang berbeda, yang menjadi sempurna dengan kedewasaan umur, yakni ketika seorang dhakar menjadi rajul (lelaki dewasa) dan seorang untha menjadi imra’ah (perempuan dewasa).

Begitupula dalam kalimat “bi ma faddala Allahu ba’dahum ‘ala ba’din” mencakup baik laki-laki dan perempuan sekaligus, karena seandainya kata ba’duhum hanya merujuk kaum laki-laki saja, maka yang masuk didalamnya adalah sebagian kaum laki-laki bukan seluruhnya. Dan firman selanjutnya adalah ‘ala ba’dijinna yang menunjuk kepada sebagian kaum perempuan bukan seluruhnya, sehingga keseluruhannya berarti bahwa Allah telah melebihkan sebagian kaum laki-laki diatas sebagain kaum perempuan.

Dengan demikian kalimat “ba’dahum ‘ala ba’din” mencakup kaum laki-laki dan perempuan sekaligus, arti demikian juga dijelaskan dalam firman-Nya : “perhatikanlah bagaiman kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Dan pastikan kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih tinggi keutamaannya” (QS. Ai-Isra’ (21).

Kandungan ini menggugurkan sifat kelebihan alami (faktor penciptaan) dan menetapkan secara tegas kelebihan berdasarkan baiknya menejemen, kebijaksanaan dan tingkat kebudayaan dan kesadaran yang berbeda-beda diantara manusia. Sehingga sebagian kaum laki-laki terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan di atasa sebagian kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya, diantara kaum perempuan terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan dalam hal-hal tersebut di atas kaum laki-laki.

Inilah maksud dari ayat 34 dari surat An-Nisa diatas, tatkala Allah mengawali dengan kepemimpinan kaum laki-laki atas perempuan, kemudian ia beralih kepada isyarat tentang adanya kesamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, dan tentang kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian orang laki-laki dan perempuan atas sebagian yang lainnya, kemudia ia mengakhirinya dengan uraian tentang kepemimpinan kaum perempuan atas kaum laki-laki : fa as-salihatu qanitatun hafizatun li al ghaybi bi ma hafiza Allahu. Kata al-hafizat disini berarti kaum perempuan yang pantas untuk memimpin, karena kepemimpinannya merupakan tema pokok dalam ayat ini.

Dengan demikian, ayat 34 surat An-Nisa’ diatas telah berisi tentang penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugerah hak kepemimpinan, disebabkan oleh anugerah yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan, pendidikan, ataupun kadar intelektual. Sefat-sifat tersebut adalah patuh dan menjaga aib suami. Apabila ia memiliki sifat-sifat demikian maka ia pantas menjadi pemimpin. Dan jika tidak meiliki sifat tersebut, maka telah keluar dari garis kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat ini desebut nashiz (wanita yang ditakutkan nusyuznya) yakni keluar dari sifat kerendah hatian dan menjaga aib suami.

Setelah ayat diatas menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan yang dikarenakan anugerah yang diberikan Allah kepadanya, seperti harta kekayaan, pemikiran dan bagusnya kepemipinan, dan tentang nushuz dan kelalimannya dalam melaksanakan kepemimpinan tersebut, serta menetapkan tiga langkah untuk mengatai munculnya nushuz yakni dengan memberikan bimbingan, nasehat, dan perkataan yang mulia, pisah ranjang, dan “idribuhunna” dalam arti memblokade kekuasaannya dengan menarik hak kepemimpinan darinya.

Namun terkadang semua cara ini tidak bermanfaat, maka dalam ayat ini bisa dimpuh jalan tahkim untuk menyelesaikan percekcokan yang dikhawatirkan akan menyebabkan perceraian : “ dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang penengah dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga perempuan. Jika kedua orang penengah itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal (Qs. An-Nisa : 35).

Lalu bagaimana jikalau hak kepemimpinn berada di tangan laki-laki, kemudian ia berbuat sewenang-wenang, lalim , dan nushuz? Maka ayat 128 dalam surat yang sama memberikan penjelasan tentangnya serta menetapkan cara penyelesaiannya. “Dan jika seorang perempuan khawatir akan nushuz dan sikap acuh tak acuh dari pelindungnya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka, walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah cenderung bersikap membenarkan diri sendiri dan menimpakan kesalahan kepada orang lain. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secra baik dan memelihara dirimu (dari sikap nushuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa : 128).

Makna kata lelaki Nushuz disini adalah apabila seorang suami bertindak dengan angkuh, tinggi hati dan otoriter yang membatasi seluruh kekuasaan hanya berada di tangannya, sehingga isterinya tidak mempunyai hak apapun dalam segala hal, baik hal-hal yang kecil maupun yang besar, kecuali didahului dengan izin yang tegas.

Sedangkan makna Al-I’rad yaitu apabila seorang suami mengabaikan urusan-urusan rumah dan anak-anaknya, tidak memikirkan apapu, berpaling dari seluruh tanggung jawabnya dan membiarkan bahtera rumh tangganya terombang-ambing, serta menyibukkan dirinya dengan kepentingannya sendiri, pesta pora, studi, atau yang lain-lain.

Maka seorang perempuan berhak memimpin jikalau sang suami melakukan nushuz atau bersikap acuh tak acuh, maka adakalanya perempuan perempuan menuntut hak kepemimpinan atau menuntut perceraian, maka masing-masing tetap pada jalannya, dan Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya dengan memberikan seluruh hak-haknya berupa separuh harta milik suami dan hak milik rumah baginya (isteri).


Sabtu, 05 November 2016

Tindak Kekerasan Pada Perempuan, Bagaimana Mencegahnya?

Tindak Kekerasan Pada Perempuan, Bagaimana Mencegahnya?
 Hasil gambar untuk stop kekerasan
     Terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak terleps dari dianutnya budaya patrilineal oleh masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai manusia nomor dua, sedangkan laki-laki adalah manusia nomor satu. Budaya ini terkontruksi secara terus-menerus dalam waktu yang lama, sehungga menciptakan pola hubungan yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

     Ketidakberimbangan ini menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat yang bermanifestasi dalam bentuk ketidakadilan terhadap perempuan, seperti memarginalkan dalam mendapatkan kesempatan, penomorduaan dalam mengambil keputusan, dan menjadi korban kekerasan. ketidakadilan terhadap perempuan menyebabkan lemahny posisi perempuan rentan terhadap kekerasan.

     Berdasarkan penelitian lembaga Legal Resource Center yang berfokus pada keadilan gender dan hak asasi manusia, diperoleh hasil bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan semakin tahun semakin banyak jumlahnya. korban kekerasan ini tidak hanya terbatas pada perempuan dewasa, tetapi juga pada anak-anak. (Jurnal Dinamika Hukum)

     Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tidak banyak yang dilaporkan dan diproses secara hukum, karena banyak faktor, salah satu faktor yaitu dari hukum pidana sendiri. proses peradilan pidana yang panjang itu ternyata menitikberatkan pada pelaku kejahatan saja, sedankan korban berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

     Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bagaikan fenomena gunung es, hal ini dikarenkan untuk mengetahui jumlah kekerasan terhadap perempuan hanya berdasarkan data laporan masyarakat, sedangkan kemungkinan lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan karena alasan ada hubungan khusus dengan korban dan perasaan malu dari korban apabila kasusnya diketahui orang banyak.

     Kekerasan terhadap perempuan saat ini tidak hanya merupakan masalah individu atau masalah nasional, tetapi sudah menjadi masalah global. Berkaitan dengan itu, maka permasalahan tersebut menjadi tanggung jawab kita semua untuk mencegahnya dengan cara menjaga diri sendiri dari hal-hal yang menyebabkan terjadinya kekerasan maupun pelecehan seksual.

     Salah satu caranya adalah menjauhi diri dari pergaulan bebas. Menurut Muhammad thalib, islam mengharamkan pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan bukan mahram, dengan alasan-alasan berikut : Pergaulan bebas lelaki dan perempuan akan merusak moral, pergaulan bebas juga merusak kehormatan kaum perempuan. Dari faktor-faktor inilah kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan mudah terjadi.

     Selain menjauhkan dari pergaulan bebas, juga kita harus berhati-hati dengan orang lain, baik dari orang terdekat maupun orang yang tak dikenal sekalipun. Faktanya pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan adalah orang yang terdekat dengan korban.

     Beberapa pencegahan lainnya dari tindak kekerasa dan pelecehan terhadap perempuan adalah dengan mengusahakan tidak berpergian di malam hari dan tidak berpergian sendiri, dan menghindari dari memakai sesuatu yang menarik perhatian, dan juga membekali diri dengan kemampuan bela diri, dan cara terakhir adalah banyak-banyaklah berdo'a dan memohon pertolongan dan keselamat agar terhindar dari tindak kekerasan dan pelecehan tersebut. Wallahu A'lam Bisshawab  

  

Jumat, 04 November 2016

Mengenal Humanisme Ala Gus Dur



Mengenal Humanisme Ala Gus Dur

Hasil gambar untuk foto humanis gus dur 

Humanisme merupakan paham yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas, paham ini lahir di Eropa sebagai reaksi atas peradaban dehumanis. Sejak abad pertengahan yang menampilkan horornya persatuan antara agama (gereja) dan negara. Di dalam persatuan ini, manusia harus tunduk dengan doktrin gereja atas nama Tuhan. isu utamanya bukan kebebasan manusia dalam merumuskan diri dan dunia, melainkan keselamatan jiwa sehingga bisa menebus dosa asal.

Dari situasi inilah muncul isu-isu yang bersifat anti-humanis dan menyebabkan munculnya kaum humanis dengan menjadikan kemanusiaan sebagai antitesis dari ketuhanan. Pada era ini disebut humanisme kritis karena kritis terhadap otoritas gereja yang memberenggus kemanusiaan. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional terhadap manusia, yang tidak terburu-buru melakukan “hubungan singkat” dengan otoritas wahyu illahi, tetapi lebih dahulu dengan lewat penelitian cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia.

Upaya seperti ini dimulai dengan perdamaian antara filsafat, khususnya Aristoteles dan Plato dengan kitab suci, kesusastraan Yunani Kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat ditemukan pada Giovanni Pico Della Mirandolla (1463-1494). Semakin berkembangnya imu-ilmu modern, dalam hal ini ilmu alam dengan humanisme modern yang semakin skeptis terhadap agama adalah fisika Isaac Newton (1643-1727), Fisika Newtonian ini memberi manusia suatu keyakinan rasional.

Secara historis, Humanisme memijakkan diri pada peradaban Yunani-Romawi. Dalam kebudayaan Yunani-Romawi Kuno manusia ditempatkan sebagai subjek utama kehidupan, dan pandangan seperti inilah biasa disebut dengan humanisme klasik. Kemuliaan manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa atas alam. Gagasan ini mendorong munculnya pemujaan tidak terbata pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal. Dengan demikian, gambaran manusia yang dicita-citakan humanisme renaissans adalah “manusia universal”.

Humanisme Renaissans yang individualis ini kemudian dilanjutkan oleh humanisme pencerahan (aufklarung) dengan karakter sebagai berikut. Penempatan manusia di atas makhluk lain, manusia dianggap sebagai makhluk rasional yang meiliki intelegensia tinggi, otonomi epistemologi, otonomi moral, dan universalitas.

Pergulatan-pergulatan tentang kemanusiaan inilah yang disebut dengan humanisme ateis yang digerakkan oleh para pemikiran pencerahan. Misalnya seperti Immanuel Kant yang mengawali pergulatan ateis ini melalui penempatan Tuhan sebagai apriori yang sudah melekat secara otomatis di dalam akal manusia dan menjadi peranti lunak bagi kegiatan berpikir.

Lalu ada Feuerbach yang meradikalkan premis ini dengan menempatkan Tuhan sebagai proyeksi bikinan manusia. Maka, bukannya Tuhan yang menciptakan manusia melainkan manusialah yang menciptakan Tuhan. hal serupa dipikirkan oleh Karl Marx sebagai seorang humanis yang meratapi nasib manusia di dalam industrialisme kapitalis, Marx menempatkan agama sebagai penghambat kemanusiaan.

Ateisme humanis juga digerakkan oleh August Comte. Ia menempatkan pemikiran ketuhanan sebagai tahapan kemanusiaan yang belum dewasa. Begitupula dengan Sartre dan Nietzsche, mere berpikir bahwa Tuhan adalah penghambat manusia untuk mengembangkan diri hingga titik kepenuhannya.

Meski rawan kritik, ateisme humanis tetap memberikan sumbangan berharga bagi pengembangan peradaban manusia, setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, perumusan moral rasional. Moralitas rasional ini telah merasionalkan moralitas sehingga setiap orang bisa menyadari kenapa mereka bermoral. Kesadaran inilah yang membuat orang senantiasa bermoral. Kedua, kritik keagamaan ini bisa mematangkan iman seseorang. Ketiga, lahirnya ilmu-imu tentang agama.

Dari kerangka inilah, humanisme Gus Dur yang mewakili gambaran humanisme Islam berada di dua ranah diskursif, Pertama sumbangan agama (Islam) bagi humanisme, sebagai antitesis dari humanisme ateis. Pandangan ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusiaan. Kedua humanisme Gus Dur dalam terang HAM di Indonesia.

Agama dan kemanusiaan haruslah disatukan karena agama tanpa kemanusiaan akan melahirkan fundamentalisme. Jika dilihat dari tujuan utama kemaslahatan yang disediakan oleh tujuan utama syariat (Maqsid al-Syari’at) berupa perlindungan atas hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan, dan hak atas kesucian keluarga.

Dari jalinan pemikiran inilah Demokrasi menurut Gus Dur harus diperjuangkan karena ia melakukan penjaminan atas dua hal, yaitu kebebasan setiap warga negara dan kesetaraan setiap manusia. Dengan demikian sistem demokrasi yang diterapkan di negara Indonesia sudah mewakili nilai dasar yang menjadi pandangan dunia Islam. Yaitu Syura (Demokrasi), Musawah (Kesetaraan), dan adalah (keadilan).

Jika nilai-nilai Islam sudah diterapkan di Indonesia dengan balutan negara modern bersistem demokrasi maka khilafah tidak perlu didirikan, karena tujuan utama dari hukum Islam dan seluruh syariat Muhammad adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah demokrasi Indonesia saat ini masih memegang nilai-nilai Islam tersebut?

Dengan mendasarkan kemanusiaan sebagai unsur utama dan pengembangan struktur masyarakat yang adil. Menjadikan sila kelima tentang “keadilan”  utama telah mencakup sila “kemanusiaan”, Agar humanisme tidak bersifat individualistik yang dan tidak hanya melindungi HAM orang perorang, tetapi lebih untuk mencapai keadilan untuk masyarak luas.

Oleh karena itu, jika demokrasi yang telah diterapkan di Indonesia telah hilang nilai-nilai keislamannya yang mencakup keadilan dan persamaan di depan hukum, maka perlu diperjuangkan kembali hak-haknya.