Perceraian, Sebuah Kemajuan Berfikir atau Degradasi NPerceraian, Sebuah Kemajuan Berfikir atau Degradasi Nilaiilai?
Angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya meningkat, terutama
dalam kasus cerai gugat yang diajukan oleh istri untuk suami. Hal ini menjadi
problematika tersendiri yang menarik dikaji dan dipelajari tentang sebab apa
sajakah yang melatarbelakangi perceraian tersebut.
Seperti yang sudah diketahui, perceraian adalah perkara halal namun
dibenci oleh Tuhan. oleh karena itu untuk memutuskan sebuah ikatan perkawinan,
pemerintah membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang prosedur dan tata
cara perceraian yang harus dilakukan di pengadilah Agama sesuai dengan putusan
hakim.
Dalam kasus perceraian, khususnya cerai gugat menurut pencermatan
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan dalam bukunya “Hukum
Perceraian” menjelaskan tentang kondisi sekarang yang jelas jauh berbeda dengan
masa beberapa tahun lalu. Pada masa lalu seorang suami istri, khususnya istri,
akan memilih sikap bertahan atas masalah apapun yang dihadapai demi keutuhan
keluarga daripada menggugat cerai. Walaupun acap kali mereka mengalami
kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya.
Seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan semakin banyak
perempuan yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya, maka seorang istri tidak
tinggal diam dan tidak mau diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki, maka
dari itu mereka menggunakan ha-haknya untuk mengajukan gugatan cerai di
pngadilan.
Dari wacana diatas, banyaknya cerai gugat yang diajukan oleh istri
atas suami memiliki sisi positif bahwa
keberanian seorang istri mengajukan cerai gugat mengindikasikan perkembangan
positif kesadaran perempuan akan hak-haknya yang mulai meningkat, tetapi tidak
kalah pentingnya adalah apakah nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya yang
ada di dalam masyarakat saat ini juga merupakan perkembangan positif? Dan benarkah
pemahaman akan hukum, utamanya tentang hak dan kewajiban, perkawinan, serta
paradigma gender telah dipahami secara benar?.
Wahyu
Ernaningsih dan Putu Samawati dalam hasil laporan penelitiannya dengan judul “Kajian
Yuridis Hak Anak yang Orang Tuanya Cerai Menurut Perspektif UUP tahun 1974” memahami bahwa meningkatnya
kesadaran perempuan akan hak-haknya ini merupakan suatu perkembangan yang cukup
positif apabila dihubungkan dengan kesadaran hukum, khusunya hukum perkawinan
menyangkut status hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, hal ini
dimungkinkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan perempuan, terutama terkait
dengan masalah hak dan kewajibannya dalam rumah tangga.
Namun demikian dengan berlakunya UU No 1 Tahun 1974 yang
diperuntukan untuk warga negara Indonesia untuk menjadi keluarga tenteram dan
bahagia, juga bertujuan untuk mengubah
tatanan aturan yang telah ada dengan aturan baru yang menjamin cita-cita luhur
dari perkawinan ini memiliki 6 asas/prinsip, salah satunya adalah asas
mempersulit proses hukum perceraian.
Menurut Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya “Hukum Perdata Indonesia”
menjelaskan bahwa dalam UU No 1 Tahun 1974 pada dasarnya mempersukar terjadinya
perceraian dengan alasan :
1.
Perkawinan
itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan yang
dibenci oleh Tuhan
2.
Untuk
membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri
3.
Untuk
mengangkat derajat dan martabat istri (wanita), sehingga setaraf dengan derajat
dan martabat suami.
Sifat mempersukar proses hukum perceraian dalam alasan-alasan hukum
perceraian juga diperkuat dengan keharusan hakim di depan sidang pengadilan
untuk memeriksa kebenaran dan alasan hukum perceraian tersebut, sehingga tidak
cukup hanya bersandar pada adanya pengakuan belaka dari pihak yang dituduh
melakukan kesalahan.
*Review
Book Hukum Perceraian – Sinar Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar