Selasa, 25 Oktober 2016

Perceraian, Sebuah Kemajuan Berfikir atau Degradasi Nilai



Perceraian, Sebuah Kemajuan Berfikir atau Degradasi NPerceraian, Sebuah Kemajuan Berfikir atau Degradasi Nilaiilai?

Hasil gambar untuk gambar perceraian
Angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya meningkat, terutama dalam kasus cerai gugat yang diajukan oleh istri untuk suami. Hal ini menjadi problematika tersendiri yang menarik dikaji dan dipelajari tentang sebab apa sajakah yang melatarbelakangi perceraian tersebut. 

Seperti yang sudah diketahui, perceraian adalah perkara halal namun dibenci oleh Tuhan. oleh karena itu untuk memutuskan sebuah ikatan perkawinan, pemerintah membuat Undang-undang yang menjelaskan tentang prosedur dan tata cara perceraian yang harus dilakukan di pengadilah Agama sesuai dengan putusan hakim.

Dalam kasus perceraian, khususnya cerai gugat menurut pencermatan Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan dalam bukunya “Hukum Perceraian” menjelaskan tentang kondisi sekarang yang jelas jauh berbeda dengan masa beberapa tahun lalu. Pada masa lalu seorang suami istri, khususnya istri, akan memilih sikap bertahan atas masalah apapun yang dihadapai demi keutuhan keluarga daripada menggugat cerai. Walaupun acap kali mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. 

Seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan semakin banyak perempuan yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya, maka seorang istri tidak tinggal diam dan tidak mau diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki, maka dari itu mereka menggunakan ha-haknya untuk mengajukan gugatan cerai di pngadilan.

Dari wacana diatas, banyaknya cerai gugat yang diajukan oleh istri atas suami memiliki sisi positif  bahwa keberanian seorang istri mengajukan cerai gugat mengindikasikan perkembangan positif kesadaran perempuan akan hak-haknya yang mulai meningkat, tetapi tidak kalah pentingnya adalah apakah nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya yang ada di dalam masyarakat saat ini juga merupakan perkembangan positif? Dan benarkah pemahaman akan hukum, utamanya tentang hak dan kewajiban, perkawinan, serta paradigma gender telah dipahami secara benar?.  

   Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati dalam hasil laporan penelitiannya dengan judul “Kajian Yuridis Hak Anak yang Orang Tuanya Cerai Menurut Perspektif  UUP tahun 1974” memahami bahwa meningkatnya kesadaran perempuan akan hak-haknya ini merupakan suatu perkembangan yang cukup positif apabila dihubungkan dengan kesadaran hukum, khusunya hukum perkawinan menyangkut status hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, hal ini dimungkinkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan perempuan, terutama terkait dengan masalah hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. 

Namun demikian dengan berlakunya UU No 1 Tahun 1974 yang diperuntukan untuk warga negara Indonesia untuk menjadi keluarga tenteram dan bahagia,  juga bertujuan untuk mengubah tatanan aturan yang telah ada dengan aturan baru yang menjamin cita-cita luhur dari perkawinan ini memiliki 6 asas/prinsip, salah satunya adalah asas mempersulit proses hukum perceraian.

Menurut Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya “Hukum Perdata Indonesia” menjelaskan bahwa dalam UU No 1 Tahun 1974 pada dasarnya mempersukar terjadinya perceraian dengan alasan :
1.      Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan
2.      Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri
3.      Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita), sehingga setaraf dengan derajat dan martabat suami.

Sifat mempersukar proses hukum perceraian dalam alasan-alasan hukum perceraian juga diperkuat dengan keharusan hakim di depan sidang pengadilan untuk memeriksa kebenaran dan alasan hukum perceraian tersebut, sehingga tidak cukup hanya bersandar pada adanya pengakuan belaka dari pihak yang dituduh melakukan kesalahan.

*Review Book Hukum Perceraian – Sinar Grafika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar