Senin, 07 November 2016

KEPEMIMPINAN DALAM AN-NISA : 34



KEPEMIMPINAN DALAM AN-NISA : 34
(kajian tafsir dalam Metodologi Fiqih Islam  Kontemporer 
karya DR. Ir. Muhammad Shahrur)

Hasil gambar untuk gambar pemimpin
Definisi al-qiwamah dalam pengertian yang umum terdapat dalam at-Tanzil al-Hakim pada surat An-Nisa’. Di dalamnya juga terdapat qiwamah bagi laki-laki dan perempuan, yaitu firman Allah : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki dan perempuan) atas sebagian (laki-laki dan perempuan) yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka wanita saleh, ialah yang taat dan memelihara hal-hal yang telah dipelihara oleh Allah ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahilah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. An-Nisa’ : 34) 

Dalam ayat ini yang tertulis adalah kalimat ar-rijal dan an-nisa yang merupakan bentuk jamak dari kata ar-rajul, sementara kata an-nisa adalah bentuk jamak dari kata imra’ah. Seperti yang diketahui bahwa seluruh rajul adalah jenis laki-laki (dhakar) dan seluruh imra’ah adalah jenis perempuan (untha). Jika dilihat dari penggunaan bahasa ini maka Al-Qiwamah dikaitkan dengan kualitas-kualitas yang berbeda, yang menjadi sempurna dengan kedewasaan umur, yakni ketika seorang dhakar menjadi rajul (lelaki dewasa) dan seorang untha menjadi imra’ah (perempuan dewasa).

Begitupula dalam kalimat “bi ma faddala Allahu ba’dahum ‘ala ba’din” mencakup baik laki-laki dan perempuan sekaligus, karena seandainya kata ba’duhum hanya merujuk kaum laki-laki saja, maka yang masuk didalamnya adalah sebagian kaum laki-laki bukan seluruhnya. Dan firman selanjutnya adalah ‘ala ba’dijinna yang menunjuk kepada sebagian kaum perempuan bukan seluruhnya, sehingga keseluruhannya berarti bahwa Allah telah melebihkan sebagian kaum laki-laki diatas sebagain kaum perempuan.

Dengan demikian kalimat “ba’dahum ‘ala ba’din” mencakup kaum laki-laki dan perempuan sekaligus, arti demikian juga dijelaskan dalam firman-Nya : “perhatikanlah bagaiman kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Dan pastikan kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih tinggi keutamaannya” (QS. Ai-Isra’ (21).

Kandungan ini menggugurkan sifat kelebihan alami (faktor penciptaan) dan menetapkan secara tegas kelebihan berdasarkan baiknya menejemen, kebijaksanaan dan tingkat kebudayaan dan kesadaran yang berbeda-beda diantara manusia. Sehingga sebagian kaum laki-laki terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan di atasa sebagian kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya, diantara kaum perempuan terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan dalam hal-hal tersebut di atas kaum laki-laki.

Inilah maksud dari ayat 34 dari surat An-Nisa diatas, tatkala Allah mengawali dengan kepemimpinan kaum laki-laki atas perempuan, kemudian ia beralih kepada isyarat tentang adanya kesamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, dan tentang kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian orang laki-laki dan perempuan atas sebagian yang lainnya, kemudia ia mengakhirinya dengan uraian tentang kepemimpinan kaum perempuan atas kaum laki-laki : fa as-salihatu qanitatun hafizatun li al ghaybi bi ma hafiza Allahu. Kata al-hafizat disini berarti kaum perempuan yang pantas untuk memimpin, karena kepemimpinannya merupakan tema pokok dalam ayat ini.

Dengan demikian, ayat 34 surat An-Nisa’ diatas telah berisi tentang penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugerah hak kepemimpinan, disebabkan oleh anugerah yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan, pendidikan, ataupun kadar intelektual. Sefat-sifat tersebut adalah patuh dan menjaga aib suami. Apabila ia memiliki sifat-sifat demikian maka ia pantas menjadi pemimpin. Dan jika tidak meiliki sifat tersebut, maka telah keluar dari garis kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat ini desebut nashiz (wanita yang ditakutkan nusyuznya) yakni keluar dari sifat kerendah hatian dan menjaga aib suami.

Setelah ayat diatas menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan yang dikarenakan anugerah yang diberikan Allah kepadanya, seperti harta kekayaan, pemikiran dan bagusnya kepemipinan, dan tentang nushuz dan kelalimannya dalam melaksanakan kepemimpinan tersebut, serta menetapkan tiga langkah untuk mengatai munculnya nushuz yakni dengan memberikan bimbingan, nasehat, dan perkataan yang mulia, pisah ranjang, dan “idribuhunna” dalam arti memblokade kekuasaannya dengan menarik hak kepemimpinan darinya.

Namun terkadang semua cara ini tidak bermanfaat, maka dalam ayat ini bisa dimpuh jalan tahkim untuk menyelesaikan percekcokan yang dikhawatirkan akan menyebabkan perceraian : “ dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang penengah dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga perempuan. Jika kedua orang penengah itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal (Qs. An-Nisa : 35).

Lalu bagaimana jikalau hak kepemimpinn berada di tangan laki-laki, kemudian ia berbuat sewenang-wenang, lalim , dan nushuz? Maka ayat 128 dalam surat yang sama memberikan penjelasan tentangnya serta menetapkan cara penyelesaiannya. “Dan jika seorang perempuan khawatir akan nushuz dan sikap acuh tak acuh dari pelindungnya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka, walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah cenderung bersikap membenarkan diri sendiri dan menimpakan kesalahan kepada orang lain. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secra baik dan memelihara dirimu (dari sikap nushuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa : 128).

Makna kata lelaki Nushuz disini adalah apabila seorang suami bertindak dengan angkuh, tinggi hati dan otoriter yang membatasi seluruh kekuasaan hanya berada di tangannya, sehingga isterinya tidak mempunyai hak apapun dalam segala hal, baik hal-hal yang kecil maupun yang besar, kecuali didahului dengan izin yang tegas.

Sedangkan makna Al-I’rad yaitu apabila seorang suami mengabaikan urusan-urusan rumah dan anak-anaknya, tidak memikirkan apapu, berpaling dari seluruh tanggung jawabnya dan membiarkan bahtera rumh tangganya terombang-ambing, serta menyibukkan dirinya dengan kepentingannya sendiri, pesta pora, studi, atau yang lain-lain.

Maka seorang perempuan berhak memimpin jikalau sang suami melakukan nushuz atau bersikap acuh tak acuh, maka adakalanya perempuan perempuan menuntut hak kepemimpinan atau menuntut perceraian, maka masing-masing tetap pada jalannya, dan Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya dengan memberikan seluruh hak-haknya berupa separuh harta milik suami dan hak milik rumah baginya (isteri).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar