KEPEMIMPINAN DALAM AN-NISA : 34
(kajian tafsir dalam Metodologi Fiqih Islam Kontemporer
karya DR. Ir. Muhammad Shahrur)
Definisi al-qiwamah
dalam pengertian yang umum terdapat dalam at-Tanzil al-Hakim pada surat An-Nisa’.
Di dalamnya juga terdapat qiwamah bagi laki-laki dan perempuan, yaitu firman
Allah : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki dan perempuan) atas sebagian (laki-laki
dan perempuan) yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta
mereka. Maka wanita saleh, ialah yang taat dan memelihara hal-hal yang telah
dipelihara oleh Allah ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahilah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. An-Nisa’ : 34)
Dalam ayat ini yang
tertulis adalah kalimat ar-rijal dan an-nisa yang merupakan bentuk jamak dari
kata ar-rajul, sementara kata an-nisa adalah bentuk jamak dari kata imra’ah. Seperti
yang diketahui bahwa seluruh rajul adalah jenis laki-laki (dhakar) dan seluruh
imra’ah adalah jenis perempuan (untha). Jika dilihat dari penggunaan bahasa ini
maka Al-Qiwamah dikaitkan dengan kualitas-kualitas yang berbeda, yang menjadi
sempurna dengan kedewasaan umur, yakni ketika seorang dhakar menjadi rajul
(lelaki dewasa) dan seorang untha menjadi imra’ah (perempuan dewasa).
Begitupula dalam kalimat
“bi ma faddala Allahu ba’dahum ‘ala ba’din” mencakup baik laki-laki dan
perempuan sekaligus, karena seandainya kata ba’duhum hanya merujuk kaum
laki-laki saja, maka yang masuk didalamnya adalah sebagian kaum laki-laki bukan
seluruhnya. Dan firman selanjutnya adalah ‘ala ba’dijinna yang menunjuk kepada
sebagian kaum perempuan bukan seluruhnya, sehingga keseluruhannya berarti bahwa
Allah telah melebihkan sebagian kaum laki-laki diatas sebagain kaum perempuan.
Dengan demikian kalimat “ba’dahum
‘ala ba’din” mencakup kaum laki-laki dan perempuan sekaligus, arti demikian
juga dijelaskan dalam firman-Nya : “perhatikanlah bagaiman kami lebihkan
sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Dan pastikan kehidupan akhirat
lebih tinggi tingkatnya dan lebih tinggi keutamaannya” (QS. Ai-Isra’ (21).
Kandungan ini
menggugurkan sifat kelebihan alami (faktor penciptaan) dan menetapkan secara
tegas kelebihan berdasarkan baiknya menejemen, kebijaksanaan dan tingkat
kebudayaan dan kesadaran yang berbeda-beda diantara manusia. Sehingga sebagian
kaum laki-laki terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan di atasa sebagian
kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya, diantara kaum perempuan terdapat
orang-orang yang memiliki kelebihan dalam hal-hal tersebut di atas kaum
laki-laki.
Inilah maksud dari ayat
34 dari surat An-Nisa diatas, tatkala Allah mengawali dengan kepemimpinan kaum
laki-laki atas perempuan, kemudian ia beralih kepada isyarat tentang adanya
kesamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, dan tentang kelebihan yang
dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian orang laki-laki dan perempuan atas
sebagian yang lainnya, kemudia ia mengakhirinya dengan uraian tentang
kepemimpinan kaum perempuan atas kaum laki-laki : fa as-salihatu qanitatun
hafizatun li al ghaybi bi ma hafiza Allahu. Kata al-hafizat disini berarti
kaum perempuan yang pantas untuk memimpin, karena kepemimpinannya merupakan
tema pokok dalam ayat ini.
Dengan demikian, ayat 34
surat An-Nisa’ diatas telah berisi tentang penjelasan sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugerah hak kepemimpinan,
disebabkan oleh anugerah yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan,
pendidikan, ataupun kadar intelektual. Sefat-sifat tersebut adalah patuh dan
menjaga aib suami. Apabila ia memiliki sifat-sifat demikian maka ia pantas
menjadi pemimpin. Dan jika tidak meiliki sifat tersebut, maka telah keluar dari
garis kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat ini desebut nashiz (wanita
yang ditakutkan nusyuznya) yakni keluar dari sifat kerendah hatian dan menjaga
aib suami.
Setelah ayat diatas
menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan yang dikarenakan anugerah yang
diberikan Allah kepadanya, seperti harta kekayaan, pemikiran dan bagusnya
kepemipinan, dan tentang nushuz dan kelalimannya dalam melaksanakan
kepemimpinan tersebut, serta menetapkan tiga langkah untuk mengatai munculnya
nushuz yakni dengan memberikan bimbingan, nasehat, dan perkataan yang mulia,
pisah ranjang, dan “idribuhunna” dalam arti memblokade kekuasaannya dengan
menarik hak kepemimpinan darinya.
Namun terkadang semua
cara ini tidak bermanfaat, maka dalam ayat ini bisa dimpuh jalan tahkim untuk
menyelesaikan percekcokan yang dikhawatirkan akan menyebabkan perceraian : “
dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang penengah dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang penengah itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha mengenal (Qs. An-Nisa : 35).
Lalu bagaimana jikalau
hak kepemimpinn berada di tangan laki-laki, kemudian ia berbuat
sewenang-wenang, lalim , dan nushuz? Maka ayat 128 dalam surat yang sama
memberikan penjelasan tentangnya serta menetapkan cara penyelesaiannya. “Dan
jika seorang perempuan khawatir akan nushuz dan sikap acuh tak acuh dari
pelindungnya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka, walaupun manusia
itu menurut tabiatnya adalah cenderung bersikap membenarkan diri sendiri dan
menimpakan kesalahan kepada orang lain. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secra baik dan memelihara dirimu (dari sikap nushuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa
: 128).
Makna kata lelaki Nushuz
disini adalah apabila seorang suami bertindak dengan angkuh, tinggi hati dan
otoriter yang membatasi seluruh kekuasaan hanya berada di tangannya, sehingga
isterinya tidak mempunyai hak apapun dalam segala hal, baik hal-hal yang kecil
maupun yang besar, kecuali didahului dengan izin yang tegas.
Sedangkan makna Al-I’rad
yaitu apabila seorang suami mengabaikan urusan-urusan rumah dan anak-anaknya,
tidak memikirkan apapu, berpaling dari seluruh tanggung jawabnya dan membiarkan
bahtera rumh tangganya terombang-ambing, serta menyibukkan dirinya dengan kepentingannya
sendiri, pesta pora, studi, atau yang lain-lain.
Maka seorang perempuan
berhak memimpin jikalau sang suami melakukan nushuz atau bersikap acuh tak
acuh, maka adakalanya perempuan perempuan menuntut hak kepemimpinan atau
menuntut perceraian, maka masing-masing tetap pada jalannya, dan Allah akan
memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya dengan
memberikan seluruh hak-haknya berupa separuh harta milik suami dan hak milik
rumah baginya (isteri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar