Mengenal Humanisme Ala Gus Dur
Humanisme merupakan paham
yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas, paham ini lahir di Eropa
sebagai reaksi atas peradaban dehumanis. Sejak abad pertengahan yang
menampilkan horornya persatuan antara agama (gereja) dan negara. Di dalam
persatuan ini, manusia harus tunduk dengan doktrin gereja atas nama Tuhan. isu
utamanya bukan kebebasan manusia dalam merumuskan diri dan dunia, melainkan
keselamatan jiwa sehingga bisa menebus dosa asal.
Dari situasi inilah muncul
isu-isu yang bersifat anti-humanis dan menyebabkan munculnya kaum humanis
dengan menjadikan kemanusiaan sebagai antitesis dari ketuhanan. Pada era ini
disebut humanisme kritis karena kritis terhadap otoritas gereja yang
memberenggus kemanusiaan. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional
terhadap manusia, yang tidak terburu-buru melakukan “hubungan singkat” dengan
otoritas wahyu illahi, tetapi lebih dahulu dengan lewat penelitian cermat atas
ciri keduniawian dan alamiah manusia.
Upaya seperti ini dimulai
dengan perdamaian antara filsafat, khususnya Aristoteles dan Plato dengan kitab
suci, kesusastraan Yunani Kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat
ditemukan pada Giovanni Pico Della Mirandolla (1463-1494). Semakin
berkembangnya imu-ilmu modern, dalam hal ini ilmu alam dengan humanisme modern
yang semakin skeptis terhadap agama adalah fisika Isaac Newton (1643-1727),
Fisika Newtonian ini memberi manusia suatu keyakinan rasional.
Secara historis, Humanisme
memijakkan diri pada peradaban Yunani-Romawi. Dalam kebudayaan Yunani-Romawi Kuno
manusia ditempatkan sebagai subjek utama kehidupan, dan pandangan seperti
inilah biasa disebut dengan humanisme klasik. Kemuliaan manusia terletak dalam
kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa
atas alam. Gagasan ini mendorong munculnya pemujaan tidak terbata pada
kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal. Dengan demikian, gambaran
manusia yang dicita-citakan humanisme renaissans adalah “manusia universal”.
Humanisme Renaissans yang
individualis ini kemudian dilanjutkan oleh humanisme pencerahan (aufklarung)
dengan karakter sebagai berikut. Penempatan manusia di atas makhluk lain,
manusia dianggap sebagai makhluk rasional yang meiliki intelegensia tinggi,
otonomi epistemologi, otonomi moral, dan universalitas.
Pergulatan-pergulatan
tentang kemanusiaan inilah yang disebut dengan humanisme ateis yang digerakkan
oleh para pemikiran pencerahan. Misalnya seperti Immanuel Kant yang mengawali
pergulatan ateis ini melalui penempatan Tuhan sebagai apriori yang sudah
melekat secara otomatis di dalam akal manusia dan menjadi peranti lunak bagi
kegiatan berpikir.
Lalu ada Feuerbach yang
meradikalkan premis ini dengan menempatkan Tuhan sebagai proyeksi bikinan
manusia. Maka, bukannya Tuhan yang menciptakan manusia melainkan manusialah
yang menciptakan Tuhan. hal serupa dipikirkan oleh Karl Marx sebagai seorang
humanis yang meratapi nasib manusia di dalam industrialisme kapitalis, Marx
menempatkan agama sebagai penghambat kemanusiaan.
Ateisme humanis juga
digerakkan oleh August Comte. Ia menempatkan pemikiran ketuhanan sebagai
tahapan kemanusiaan yang belum dewasa. Begitupula dengan Sartre dan Nietzsche,
mere berpikir bahwa Tuhan adalah penghambat manusia untuk mengembangkan diri
hingga titik kepenuhannya.
Meski rawan kritik, ateisme
humanis tetap memberikan sumbangan berharga bagi pengembangan peradaban
manusia, setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, perumusan moral
rasional. Moralitas rasional ini telah merasionalkan moralitas sehingga setiap
orang bisa menyadari kenapa mereka bermoral. Kesadaran inilah yang membuat
orang senantiasa bermoral. Kedua, kritik keagamaan ini bisa mematangkan
iman seseorang. Ketiga, lahirnya ilmu-imu tentang agama.
Dari kerangka inilah,
humanisme Gus Dur yang mewakili gambaran humanisme Islam berada di dua ranah
diskursif, Pertama sumbangan agama (Islam) bagi humanisme, sebagai antitesis
dari humanisme ateis. Pandangan ini lahir dari prinsip ketuhanan atas
kemanusiaan. Kedua humanisme Gus Dur dalam terang HAM di Indonesia.
Agama dan kemanusiaan
haruslah disatukan karena agama tanpa kemanusiaan akan melahirkan
fundamentalisme. Jika dilihat dari tujuan utama kemaslahatan yang disediakan
oleh tujuan utama syariat (Maqsid al-Syari’at) berupa perlindungan atas hak
hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan, dan hak atas kesucian
keluarga.
Dari jalinan pemikiran
inilah Demokrasi menurut Gus Dur harus diperjuangkan karena ia melakukan
penjaminan atas dua hal, yaitu kebebasan setiap warga negara dan kesetaraan
setiap manusia. Dengan demikian sistem demokrasi yang diterapkan di negara
Indonesia sudah mewakili nilai dasar yang menjadi pandangan dunia Islam. Yaitu Syura
(Demokrasi), Musawah (Kesetaraan), dan adalah (keadilan).
Jika nilai-nilai Islam
sudah diterapkan di Indonesia dengan balutan negara modern bersistem demokrasi
maka khilafah tidak perlu didirikan, karena tujuan utama dari hukum Islam dan
seluruh syariat Muhammad adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Namun
yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah demokrasi Indonesia saat ini
masih memegang nilai-nilai Islam tersebut?
Dengan mendasarkan kemanusiaan
sebagai unsur utama dan pengembangan struktur masyarakat yang adil. Menjadikan sila
kelima tentang “keadilan” utama telah
mencakup sila “kemanusiaan”, Agar humanisme tidak bersifat individualistik yang
dan tidak hanya melindungi HAM orang perorang, tetapi lebih untuk mencapai
keadilan untuk masyarak luas.
Oleh karena itu, jika demokrasi
yang telah diterapkan di Indonesia telah hilang nilai-nilai keislamannya yang
mencakup keadilan dan persamaan di depan hukum, maka perlu diperjuangkan
kembali hak-haknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar