Jumat, 04 November 2016

Mengenal Humanisme Ala Gus Dur



Mengenal Humanisme Ala Gus Dur

Hasil gambar untuk foto humanis gus dur 

Humanisme merupakan paham yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas, paham ini lahir di Eropa sebagai reaksi atas peradaban dehumanis. Sejak abad pertengahan yang menampilkan horornya persatuan antara agama (gereja) dan negara. Di dalam persatuan ini, manusia harus tunduk dengan doktrin gereja atas nama Tuhan. isu utamanya bukan kebebasan manusia dalam merumuskan diri dan dunia, melainkan keselamatan jiwa sehingga bisa menebus dosa asal.

Dari situasi inilah muncul isu-isu yang bersifat anti-humanis dan menyebabkan munculnya kaum humanis dengan menjadikan kemanusiaan sebagai antitesis dari ketuhanan. Pada era ini disebut humanisme kritis karena kritis terhadap otoritas gereja yang memberenggus kemanusiaan. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional terhadap manusia, yang tidak terburu-buru melakukan “hubungan singkat” dengan otoritas wahyu illahi, tetapi lebih dahulu dengan lewat penelitian cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia.

Upaya seperti ini dimulai dengan perdamaian antara filsafat, khususnya Aristoteles dan Plato dengan kitab suci, kesusastraan Yunani Kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat ditemukan pada Giovanni Pico Della Mirandolla (1463-1494). Semakin berkembangnya imu-ilmu modern, dalam hal ini ilmu alam dengan humanisme modern yang semakin skeptis terhadap agama adalah fisika Isaac Newton (1643-1727), Fisika Newtonian ini memberi manusia suatu keyakinan rasional.

Secara historis, Humanisme memijakkan diri pada peradaban Yunani-Romawi. Dalam kebudayaan Yunani-Romawi Kuno manusia ditempatkan sebagai subjek utama kehidupan, dan pandangan seperti inilah biasa disebut dengan humanisme klasik. Kemuliaan manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa atas alam. Gagasan ini mendorong munculnya pemujaan tidak terbata pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal. Dengan demikian, gambaran manusia yang dicita-citakan humanisme renaissans adalah “manusia universal”.

Humanisme Renaissans yang individualis ini kemudian dilanjutkan oleh humanisme pencerahan (aufklarung) dengan karakter sebagai berikut. Penempatan manusia di atas makhluk lain, manusia dianggap sebagai makhluk rasional yang meiliki intelegensia tinggi, otonomi epistemologi, otonomi moral, dan universalitas.

Pergulatan-pergulatan tentang kemanusiaan inilah yang disebut dengan humanisme ateis yang digerakkan oleh para pemikiran pencerahan. Misalnya seperti Immanuel Kant yang mengawali pergulatan ateis ini melalui penempatan Tuhan sebagai apriori yang sudah melekat secara otomatis di dalam akal manusia dan menjadi peranti lunak bagi kegiatan berpikir.

Lalu ada Feuerbach yang meradikalkan premis ini dengan menempatkan Tuhan sebagai proyeksi bikinan manusia. Maka, bukannya Tuhan yang menciptakan manusia melainkan manusialah yang menciptakan Tuhan. hal serupa dipikirkan oleh Karl Marx sebagai seorang humanis yang meratapi nasib manusia di dalam industrialisme kapitalis, Marx menempatkan agama sebagai penghambat kemanusiaan.

Ateisme humanis juga digerakkan oleh August Comte. Ia menempatkan pemikiran ketuhanan sebagai tahapan kemanusiaan yang belum dewasa. Begitupula dengan Sartre dan Nietzsche, mere berpikir bahwa Tuhan adalah penghambat manusia untuk mengembangkan diri hingga titik kepenuhannya.

Meski rawan kritik, ateisme humanis tetap memberikan sumbangan berharga bagi pengembangan peradaban manusia, setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, perumusan moral rasional. Moralitas rasional ini telah merasionalkan moralitas sehingga setiap orang bisa menyadari kenapa mereka bermoral. Kesadaran inilah yang membuat orang senantiasa bermoral. Kedua, kritik keagamaan ini bisa mematangkan iman seseorang. Ketiga, lahirnya ilmu-imu tentang agama.

Dari kerangka inilah, humanisme Gus Dur yang mewakili gambaran humanisme Islam berada di dua ranah diskursif, Pertama sumbangan agama (Islam) bagi humanisme, sebagai antitesis dari humanisme ateis. Pandangan ini lahir dari prinsip ketuhanan atas kemanusiaan. Kedua humanisme Gus Dur dalam terang HAM di Indonesia.

Agama dan kemanusiaan haruslah disatukan karena agama tanpa kemanusiaan akan melahirkan fundamentalisme. Jika dilihat dari tujuan utama kemaslahatan yang disediakan oleh tujuan utama syariat (Maqsid al-Syari’at) berupa perlindungan atas hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan, dan hak atas kesucian keluarga.

Dari jalinan pemikiran inilah Demokrasi menurut Gus Dur harus diperjuangkan karena ia melakukan penjaminan atas dua hal, yaitu kebebasan setiap warga negara dan kesetaraan setiap manusia. Dengan demikian sistem demokrasi yang diterapkan di negara Indonesia sudah mewakili nilai dasar yang menjadi pandangan dunia Islam. Yaitu Syura (Demokrasi), Musawah (Kesetaraan), dan adalah (keadilan).

Jika nilai-nilai Islam sudah diterapkan di Indonesia dengan balutan negara modern bersistem demokrasi maka khilafah tidak perlu didirikan, karena tujuan utama dari hukum Islam dan seluruh syariat Muhammad adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah demokrasi Indonesia saat ini masih memegang nilai-nilai Islam tersebut?

Dengan mendasarkan kemanusiaan sebagai unsur utama dan pengembangan struktur masyarakat yang adil. Menjadikan sila kelima tentang “keadilan”  utama telah mencakup sila “kemanusiaan”, Agar humanisme tidak bersifat individualistik yang dan tidak hanya melindungi HAM orang perorang, tetapi lebih untuk mencapai keadilan untuk masyarak luas.

Oleh karena itu, jika demokrasi yang telah diterapkan di Indonesia telah hilang nilai-nilai keislamannya yang mencakup keadilan dan persamaan di depan hukum, maka perlu diperjuangkan kembali hak-haknya.
     
   

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar