Selasa, 25 Oktober 2016

Walimah Lebih Besar dari Mahar, Bolehkah?



Walimah Lebih Besar dari Mahar, Bolehkah?

Sudah menjadi adat manusia, khususnya bangsa Indonesia untuk melaksanakan walimah (resepsi) setelah akad pernikahan berlangsung. Kata walimah itu sendiri berasa dari kata “al-walmu” yang berarti bersatu atau kumpul, tapi kemudian kalimat tersebut diaplikasikan untuk semua bentuk hidangan sebagai luapan kegembiraan. Dan pada akhirnya kalimat walimatul ursy digunakan untuk istilah pesta pernikahan.[1]

            Acara walimah yang sering disebut dengan resepsi itu memiliki tradisi yang berbeda-beda antar daerah sesuai dengan hukum adat yang ada. Tak jarang sepasang pengantin ingin mengadakan acara-acara tersebut secara megah, dan tak sedikit uang yang dikeluarkan untuk mengadakan acara tersebut.

            Jumhur ulama berpendapat, bahwa sebuah pernikahan belum dianggap terlaksana, kecuali diumumkan secara terang-terangan. Atau belum sah kecuali para saksi yang hadir menyaksikan akad nikah yang dilangsungkan. Sedangkan Imam malik dan para sahabatnya berpendapat, bahwa mengumumkan sebuah pernikahan (secara meluas) bukanlah suatu hal yang wajib. Adapun tindakan pengumuman sebuah pernikahan tetap dibenarkan setelah terlaksana akad yaitu untuk mengklarifikasi perbedaan yang terjadi antara kedua mempelai.[2]
 
            Namun terkadang dana untuk pelaksanaan resepsi lebih banyak dari mahar yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanitanya, sedangkan kita tahu bahwa mahar atau yang sering disebut dengan mas kawin ini merupakan pemberian untuk merefleksikan kesungguhan cinta suami kepada sang istri. Dalam surat An-Nisa ayat 4 disebutkan “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

            Dalam kompilasi hukum islam yang merupakan kodifikasi hukum islam di Indonesia dalam pasal 30 nya menyebutkan bahwa calon pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Namun dalam pemberian mahar juga tidak boleh mempersulit calon mempelai pria. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 31 yang menyatakan penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan, kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

            Islam memberikan batas minimum pemberian mahar yaitu sepuluh dirham, seperti hadist yang diriwayatka oleh Daruquthni namun mauquf dan sanadnya dipertentangkan. Pendapat hadist yang shahih marfu’ tidak pernah membatasi maskawin tersebut[3].       
  
            Dalam beberapa riwayat, lagi-lagi Islam mengajarkan tetang kesederhanaan baik dalam pemberian mahar maupun pengadaan walimah. Adapun jika kedua mempelai tidak merasa keberatan untuk memberikan mahar yang besar dan mengadakan walimah besar diperbolehkan jika merasa mampu dan tidak mengandung mudhorot di lain waktu. Wallahu ‘alam bishawab
           


[1] Ensiklopedia tematis ayat al-qur’an dan hadist jilid 7
[2] Syaikh kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita
[3] Ibid hal. 261

2 komentar:

  1. kesimpulannya tidak menjawab penuh pertanyaan yang ada pada judul mbak?? hehe

    BalasHapus
  2. kesimpulan akan disimpulkan pembaca us, hehe...(kajian berlanjut)
    ini tekhnik judul para blogger untuk mengundang tanda tanya

    BalasHapus